Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba

Berlin Situmorang
9 min readNov 9, 2023

--

Ilustrasi Perempuan Batak Toba. Sumber dari Nationaal Museum Van Wereldculturen.

Esai ini ditulis dalam rangka memenuhi tugas mata Penulisan Akademik yang diadakan Departemen Sosiologi UGM, 2022. Sekiranya tulisan ini berguna untuk dibagikan.

Budaya adat Batak Toba secara implisit menunjukkan bahwa kedudukan laki-laki adalah pemegang peran tertinggi. Hal ini terlihat dari budaya batak secara turun-temurun menganut sistem patrilineal, garis keturunan dilanjutkan kepada anak laki-lakinya melalui nama klan (marga) dari pihak ayah. Masyarakat batak memandang anak laki-laki memiliki peran penting sebagai kelanjutan generasi. Selama seorang lelaki batak belum memiliki keturunan anak laki-laki, masyarakat batak menganggapnya belum memiliki anak (Simangunsong, 2018).

Hal ini berhubungan dengan adanya pemaknaan 3H sebagai konsep hidup yang ideal dan pencapaian kebahagiaan bagi masyarakat Batak Toba. Konsep 3H ini biasanya digambarkan melalui sebuah umpasa, yang mirip rupanya seperti pantun kemudian disampaikan secara lisan di suatu kegiatan upacara adat. Umpasa memiliki pesan suatu permohonan yang diharapkan oleh masyarakat Batak Toba, berupa diantaranya hagabeon yang mengartikan kebahagiaan, hamoraon mengartikan kekayaan, hasangapon mengartikan dihormati, kemudian saur matua mengartikan panjang umur dan sejahtera (Pardosi, 2008).

Salah satu cita-cita masyarakat Batak Toba untuk mencapai kebahagiaan melalui konsep 3H adalah hagabeon. Hagebon lebih dalam dapat diartikan sebagai bentuk pencapaian orangtua dengan prasyarat keharusan memperoleh keturunan. Namun kelahiran anak laki-laki lebih diharapkan dibanding anak perempuan. Laki-laki dianggap kelak menjadi seorang raja, sementara berbanding terbalik dengan kehadiran perempuan yang tidak diperhitungkan posisinya (Simangunsong, 2018). Dengan hal tersebut, perempuan tidak memiliki kuasa dalam melanjutkan nama klan (marga) keturunan.

Hadirnya Dalihan Na Tolu sebagai makna konsep patrilineal juga turut menentukan peran dalam masyarakat Batak Toba. Dalihan Na Tolu adalah suatu konsep hubungan kekeluargaan melalui klan (marga) pada suku Batak Toba. Ketiga hubungan tersebut diantaranya adalah hula-hula sebagai pihak keluarga istri, dongan sabutuha sebagai saudara semarga, boru sebagai pihak keluarga penerima istri. Seorang boru harus bersikap menyembah terhadap hula-hula, dan harus melayani (Hasanah, 2018). Melalui Dalihan Na Tolu, istilah melayani dan menyembah menunjukkan adanya perbedaan kedudukan laki-laki (hula-hula) dengan perempuan (boru).

Oleh karena berdasarkan pengamatan penulis sebagai individu yang berhadapan secara langsung dengan kehidupan masyarakat Batak Toba. Penulis melihat bahwa, melalui dalihan na tolu, namboru sebagai boru (saudara perempuan ayah) tidak boleh dilayani oleh hula-hula (laki-laki pihak klan). Hal tersebut dapat dijumpai dalam kegiatan pesta adat pernikahan batak. Dalam pesta, seorang boru harus melayani dan membantu segala persiapan yang diperlukan hula-hula, seperti belanja, memasak, mencuci, dan lain sebagainya. Suatu pantangan atau hal yang tabu apabila pihak hula-hula melayani dan menyembah (menghormati) pihak boru. Dalihan Na Tolu menegaskan bahwa peran perempuan itu harus melayani. Hal ini menunjukkan ada perbedaan posisi, status, hingga kedudukan antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat Batak Toba.

Dalam hal ini, penulis melihat ada ketimpangan pada kehidupan berkeluarga. Bilamana perempuan tidak dapat melahirkan seorang anak laki-laki, maka ia dibenarkan untuk diceraikan atau harus memberikan izin kepada istri kedua bagi suaminya (Irawati, 2007 dalam Sarwono, 2017). Namun sisi lain, orang yang tidak memiliki anak laki-laki karena alasan apapun tidak diwajibkan untuk membuat silsilah — bahkan tidak berhak membuat silsilah dan namanya tidak dicantumkan dalam silsilah tersebut, sehingga diklasifikasikan sebagai punah (Situmorang, 1981).

Dalihan Na Tolu Dalam Ritual Adat Batak Toba

Peranan Dalihan Na Tolu sangat lekat dalam acara adat Batak Toba. Melalui Dalihan Na Tolu-lah masyarakat batak melandasi posisi dan peranannya dalam acara adat melalui hubungan antar klan (marga). Perbedaan posisi dan pembagian kerja terhadap laki-laki dan perempuan mengantar pada hak dan kewajiban yang berbeda terhadap klan mereka. Hal tersebut dapat dilihat pada ritual adat masyarakat Batak Toba yang turut menentukan posisi perempuan dalam pelaksanaannya. Simangunsong (2013) mengatakan bahwa sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu harus saling berkaitan dalam usaha melaksanakan kegiatan.

Adat Batak yang menganut sistem patrilineal akan menarik garis marga suami untuk keturunan selanjutnya. Dalam acara pernikahan adat batak, pihak orang tua dari perempuan yang akan memberi putrinya sebagai istri kepada pihak laki-laki yang memberi keturunan pada satu marga. Mengingat bahwa istri akan berhenti pada klan-nya sendiri, keturunan akan mengikut klan dari suami sebagai pihak laki-laki. Hal ini sesuai dengan pernyataan Christina (2000, dalam Sarwono, 2017) yang mengatakan bahwasanya melalui Dalihan Na Tolu, seorang wanita batak tidak akan pernah memiliki identitasnya sendiri karena seorang wanita akan selalu menjadi milik orang lain. Perempuan tidak berhak melanjutkan klan keluarganya, namun kelak menjadi bagian keluarga dari pihak laki-laki sebagai suaminya.

Dalihan Na Tolu juga turut hadir dalam acara adat kematian masyarakat batak. Ketika seseorang masyarakat batak meninggal dunia, maka ketiga pihak dalam Dalihan Na Tolu akan mengadakan martonggo raja (musyawarah) dalam membahas persiapan upacara Saurmatua (Hasugian, 2017). Dalam tradisi acara kematian masyarakat Batak, terdapat tingkatan upacara yang memiliki makna dan fungsi dengan prasyarat tertentu. Mulai dari Sarimatua, merupakan tingkatan upacara ketika orangtua meninggal dan sudah punya anak serta cucu, namun diantara anak masih ada yang belum menikah. Kemudian Saurmatua, semua anak sudah menikah, namun masih ada yang belum memiliki anak. Hingga tingkatan upacara tertinggi yang yakni Maulibulung, tingkatan yang menunjukkan semua anak sudah menikah serta memiliki keturunan. Namun Maulibulung terwujud apabila anaknya tidak ada yang meninggal terlebih dahulu. Kendati demikian, tingkatan kematian paling dasar adalah Mate Ponggol, kematian yang merenggut seseorang dengan umur muda, atau sudah menikah tetapi tidak memiliki anak laki-laki. Dan pada akhirnya, semua tingkatan upacara kematian terwujud apabila memiliki anak laki-laki.

Warisan menjadi bagian dari tradisi adat masyarakat Batak Toba secara turun temurun. Menurut aturan keluarga di antara masyarakat batak, bahwa semua harta hanya berhak diwariskan pada garis keturunan laki-laki (Vergouwen, 1964: 156). Harta yang dimaksud adalah berupa pemberian seperti hak, nama, properti, kantor, emas, ternak, atau sejenisnya. Masyarakat Batak Toba menganut sistem patrilineal, dengan demikian perempuan di dalam masyarakat Batak Toba hanya akan mendapat warisan dari keluarga suaminya. Hal ini sejalan dengan prinsip Dalihan Na Tolu dimana perempuan tidak memiliki hak untuk diwariskan, karena pada dasarnya perempuan tidak membawa garis keturunan. Jikalau demikian, di sisi lain perempuan hanya dapat memperoleh warisan atas dasar izin saudara laki-lakinya. Terlebih lagi pada tanah adat marga atas warisan orangtua yang hanya dapat diberikan pada pihak laki-laki pembawa nama klan (marga).

Ritual Adat dan Subordinasi Perempuan

Subordinasi kerap dikaitkan dengan sistem patrilineal. Patriarki yang memegang kendali, berakibat pada sistem yang membuat perempuan tetap didominasi dan disubordinasikan. Subordinasi perempuan digambarkan pada situasi saat hubungan kekuasaan dan laki-laki mendominasi perempuan, sehingga muncul perasaan tidak berdaya, diskriminasi, dan pengalaman serta kepercayaan diri yang terbatas (Sultana, 2010). Budaya dalam keseharian adat sudah me-normalisasi posisi dan kuasa perempuan yang tidak setara dengan laki-laki.

Hal ini dapat dilihat pada budaya adat masyarakat batak yang kenyataannya membatasi perempuan dalam mengambil keputusan, menentukan posisi, hingga keberadaannya yang terkesan tidak dihitung eksistensinya. Dapat digambarkan melalui kaki-laki sebagai pemegang kendali ritual adat dalam kehidupan masyarakat batak. Bagaimana hal itu tampak dalam pelaksanaan upacara atau ritual, misalnya Raja Parhata [1] yang lazim hanya dipersilahkan pada kaum bapak sebagai pihak laki-laki untuk memimpin jalannya acara (pesta).

Adanya perlakuan subordinasi terhadap perempuan kerap kali terjadi di dalam kehidupan sehari-hari rumah tangga keluarga masyarakat Batak Toba. Kegiatan rumah tangga keluarga masyarakat Batak Toba dapat dikatakan sebagai tempat utama penindasan perempuan oleh laki-laki (Butar-butar, 2020). Karena perempuan umumnya ditugaskan sebagai par-di-jabu (ibu rumah tangga), yang tugasnya hanya terbatas pada bagian domestik rumah tangga. Tidak jarang pada budaya batak bahwasanya perempuan dibentuk harus bisa melakukan pekerjaan rumah, layaknya mencuci, memasak, melayani, mengurus rumah tangga, hingga menyediakan segala yang diperlukan suaminya sebagai pihak laki-laki. Sementara laki-laki dianggap sebagai seseorang yang tidak pantas untuk mengurus pekerjaan rumah tangga, namun sebaliknya sebagai seseorang yang harus dilayani.

Pembagian warisan juga menjadi salah satu peristiwa penting di dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba. Pihak yang kerap mendapat warisan tersebut adalah pihak laki-laki, sebagaimana masyarakat Batak Toba itu menjalankan sistem patrilinealnya yang kemudian ditegaskan oleh Dalihan Na Tolu itu sendiri. Yang menarik dalam hal ini juga, di berbagai peristiwa lainnya terdapat kejadian dimana perempuan dijadikan sebagai pelunas hutang orang tuanya sendiri (Butar-butar, 2020). Dapat dilihat pada prasyarat pernikahan berupa sinamot [2]. Namun kadang kala sinamot ini dapat tergantikan, Vergouwen (1986) bilamana keluarga pihak perempuan memiliki hutang yang melebihi kekayaan maka akan diadakan suatu perjanjian pertunangan (semu). Maka Hutang tersebut akan menjadi bentuk sinamot dari laki-laki, Vergouwen melanjutkan bahwa jumlah yang menjadi tagihan kreditur (pemberi utang) dianggap sebagai panjar pembayaran perkawinan. Kemudian, perihal tersebut tidak terlepas sebagai tanggungan perempuan yang telah menjadi bagian keluarganya.

Bentuk subordinasi juga turut hadir pada kurangnya mobilitas hak perempuan dalam waris atau properti. Sebagaimana yang dijelaskan (Sultana, 2010), bahwa perempuan tidak mendapat bagian, sementara harus membayar bilamana terdapat utang orangtuanya yang belum lunas. Tetapi kadang kala, apabila perempuan meminta dengan baik-baik agar mendapat sebagian warisan, saudaranya laki-laki sebagai ahli waris harus menyetujui permintaan tersebut (Vergouwen, 1964). Mengingat bahwa perempuan kelak akan menjadi bagian dari keluarga pihak klan laki-laki.

Dalam pernikahan, seorang istri selalu didambakan dapat melahirkan anak (laki-laki). Pandangan yang mengatakan perempuan tidak dapat melahirkan seorang anak laki-laki, maka ia dibenarkan untuk diceraikan (Irawati, 2007 dalam Sarwono, 2017). Hal ini mengantar kepada seseorang laki-kaki untuk bisa menikah lagi untuk memiliki anak laki-laki, sementara perempuan dapat ditinggalkan. Gambarannya dapat dilihat pada tugu[3] masyarakat suku batak. Tugu menggambarkan patung berupa laki-laki yang di sampingnya terdapat dua bahkan tiga perempuan mendampinginya. Terkesan perempuan dieksploitasi lewat keturunan dalam rumah tangga.

Marpodang (dalam Butar-butar, 2020) menjabarkan, bahwa nasib anak perempuan apabila tidak memiliki saudara laki-laki akan berdampak pada hilangnya tempat bertautan perlindungan, berada pada luar sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu. Dan pandangan kelahiran hingga kematian yang sangat mengharapkan adanya kehadiran anak laki-laki sebagai kelanjutan klan (marga). Hal ini patriarki dan ritual budaya adat masyarakat batak secara konstruksi sosial telah melabel perempuan sebagai pihak yang didominasi oleh laki-laki melalui ketimpangan hak, posisi, dan peran yang telah mensubordinasi.

Gagasan Spivak terhadap Subordinasi Perempuan

Perempuan dalam masyarakat batak dapat dikatakan sebagai golongan subaltern. Konteks budaya adat Batak Toba yang selalu didominasi oleh pria, menjadi konteks perempuan sebagai pihak yang tidak dianggap pengaruhnya. Antoni Gramsci (dalam Setiawan, 2018) melalui istilah subaltern, dalam tatanan sosial ia mengidentifikasi kelompok yang dikucilkan dan tereksklusif. Hal ini dapat dilihat pada masyarakat batak yang tidak pernah memuat pertimbangan perempuan sebagai pihak yang terlibat dalam acara adat, melainkan semua peranan dipegang oleh pihak laki-laki. Kemudian Spivak (dalam Setiawan, 2018), melihat bahwa subaltern yang merujuk pada semacam ruang pembedaan segala sesuatu, yang kemudian terkait pada pembatasan akses. Ia memandang subaltern pada siapa saja yang suaranya mewakili suatu akses terbatas dan tidak memiliki kebebasan dalam bersuara. Hal ini sesuai dengan peristiwa yang terjadi di masyarakat adat Batak Toba, bahwa perempuan Batak Toba kerap pada posisi yang sama.

Penutup

Budaya Batak Toba memposisikan peran dan kuasa laki-laki yang lebih dominan. Dapat dilihat pada adat pernikahan, perempuan tidak berhak melanjutkan klan (marga) keluarganya karena akan menjadi bagian dari keluarga suaminya. Turut dalam adat kematian, tingkatan penghargaan kematian yang merujuk pada prasyarat memiliki anak laki-laki. Kemudian adat warisan, semua harta hanya berhak diwariskan pada garis keturunan laki-laki, perempuan dapat memperoleh sepanjang izin dari saudara laki-lakinya. Serta adat pesta, hanya laki-laki yang berhak sebagai pemegang kendali ritual. Hingga implikasi pada keseharian keluarga, bahwa perempuan ditugaskan sebagai par-di-jabu (Ibu rumah tangga), sementara laki-laki sebagai kaum bapak harus dilayani. Pada akhirnya, secara implisit budaya yang dianut masyarakat Batak Toba kerap menormalisasi tindakan subordinasi oleh laki-laki terhadap perempuan.

Referensi

Butar-Butar, Gracetinovitria Merliana. (2020). Eksitensi Perempuan Batak Toba dalam Budaya dan Agama. Jurnal Pionir LPPM Universitas Asahan, 6(2), 190–202.

Hasanah, Miladiatul. 2018. Pola Komunikasi Intrabudaya Sistem Kekerabatan Dalam Memelihara Falsafah Hidup Dalihan Na Tolu. JOM FISIP Vol. 5: Edisi I Januari — Juni 2018.

Hasugian, R. M. (2017). Upacara Kematian Suar Matua Batak Toba: Analisis Trandisi Lisan. LINGUA: Journal of Language, Literature and Teaching, 14(2), 225.

Pardosi, Jhonson. 2008. Makna Simbolik Umpasa, Sinamot, Dan Ulos Pada Adat Perkawinan Batak Toba. Jurnal Ilmiah Bahasa Dan Sastra: Volume IV №2 Oktober Tahun 2008.

Sarwono, S. W. (2017). Women in Indonesia (on Women’s Evolving Lives Global and Psychosocial Perspectives p.59). Switzerland: Springer International Publishing.

Setiawan, R. (2018). Subaltern, Politik Etis, dan Hegemoni dalam Perspektif Spivak. Jurnal POETIKA, 6(1), 12.

Situmorang, Sitor. 1981. Seorang Sastrawan 45: Penyair Danau Toba. Jakarta: Sinar Harapan.

Simangunsong, F. (2013). Pengaruh Konsep Hagabeon, Hamoraon, dan Hasangapon terhadap Ketidaksetaraan Gender dalam Amang Parsinuan. Sirok Bastra Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan: Volume 1 №2 Edisi Desember 2013.

Sultana, A. (2012). Patriarchy and Women’s Subordination: A Theoretical Analysis. Arts Faculty Journal, 4, 1–18.

Vergouwen, J.C. (1964). The Social Organisation and Customary Law of the Toba-Batak of Northern Sumatra. Hague: M. Nijhoff.

[1] Ind: Ketua Adat.

[2] Sinamot adalah bentuk pembayaran berupa uang dari pihak laki-laki terhadap perempuan kepada orang tuanya saat menjelang pernikahan.

[3] Tugu dalam budaya Batak Toba merupakan bangunan sebagai simbol menghormati arwah para leluhurnya.

--

--

Berlin Situmorang
Berlin Situmorang

No responses yet